Menggalang dukungan dari luar ruang gema
Pelajaran dari contoh kasus kampanye iklan kreatif di media sosial untuk organisasi masyarakat sipil
Paramita Mohamad
Photo by Timon Studler on Unsplash
Principal Consultant, Communication for Change
Di tengah kerisauan tentang tergerusnya ruang ekspresi publik akhir-akhir ini di Indonesia, kita melihat masih banyak organisasi masyarakat sipil (OMS) yang melakukan komunikasi publik di media sosial. Kegiatan ini biasanya adalah salah satu komponen dari seperangkat aktivitas dalam advokasi kebijakan yang mereka jalankan.

Organisasi-organisasi ini mengajak pengguna media sosial peduli tentang berbagai masalah publik, misalnya perubahan iklim, transisi ke energi terbarukan, demokrasi dan hak asasi, tata kelola, dan sebagainya. Sebagian dari mereka juga menawarkan rekomendasi untuk memecahkan masalah-masalah itu, yang umumnya bermuara pada seruan untuk mengubah kebijakan.

Saat mulai menjamur di tahun 2010, media sosial memberi harapan ke mereka yang ingin mendatangkan perubahan sosial —termasuk OMS di Indonesia. Media sosial membuka akses gratis bagi OMS untuk berkomunikasi langsung ke publik, menembus filter media konvensional yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa. Setiap kita melihat bagaimana aksi kebijakan terjadi yang sejalan ekspresi warga di media sosial —sampai muncul istilah “kebijakan berbasis viral”— setiap kali kita (ingin) percaya, harapan masih ada.

Namun kami mendengar sebagian kalangan masyarakat sipil mulai meragukan efektivitas komunikasi publik, terutama yang bentuknya kampanye di media sosial. Kami menduga keraguan ini dipicu dua hal. Pertama, dari setiap contoh yang kita anggap sebagai keberhasilan (misalnya penundaan pengesahan Revisi KUHP tahun 2019), kita menemui lebih banyak contoh kegagalan (seperti tak terbendungnya Revisi UU KPK, 2019 dan RUU Cipta Kerja, 2020). Kedua, kita makin sering menyaksikan aksi terkoordinasi pendengung (“buzzer”) di media sosial untuk mendiskreditkan pengkritik pemerintah, pelaporan pencemaran nama baik dengan menggunakan pasal karet UU ITE ke polisi, dan peretasan situs OMS atau akun media sosial aktivis. Wajar jika akhirnya kepercayaan sebagian awak OMS tentang efektivitas kampanye publik makin meredup.
Betulkah OMS seharusnya mulai mendivestasi sumberdaya untuk kampanye publik? Ataukah sebetulnya selama ini kampanye publik yang dilakukan OMS belum berlangsung optimal dalam mendorong agenda perubahan?
Dalam tulisan ini kami menyampaikan argumen untuk mengafirmasi pertanyaan yang kedua. Pengalaman kami dalam mendampingi Sindikasi Pemilu dan Demokrasi dan Transparency International Indonesia menunjukkan, pengguna internet bisa diajak lebih peduli tentang masalah yang cukup kompleks dengan menggunakan iklan berbayar yang kreatif di media sosial. Kami akan menunjukkan data bagaimana metode ini sangat ekonomis (cost-effective) untuk menjangkau dan mencuri perhatian masyarakat “awam” yang berada di luar lingkaran aktivisme. Kami akan menutup tulisan ini dengan menegaskan bahwa kampanye publik yang efektif akan tetap mandul jika tidak diiringi kesiapan OMS untuk memberikan pilihan buat warga untuk mulai berpartisipasi dalam civic engagement.

Tujuan utama kampanye publik bukan mengajak penguasa berubah pikiran

Kampanye publik (public campaign) atau yang disebut juga public awareness campaign atau public will campaign adalah kampanye yang memanfaatkan metode-metode pemasaran (seperti pembuatan pesan, pemilihan media, dan berbagai taktik komunikasi lainnya) agar publik mengenali atau menganggap penting sebuah masalah. Tujuan utamanya adalah memobilisasi aksi publik untuk mempengaruhi kemauan politik pembuat kebijakan atau pengambil keputusan, sehingga masalah sosial yang disorot menjadi lebih mungkin dipecahkan sejalan dengan kepentingan umum.

Melihat kemunduran demokrasi di Indonesia dan seringnya pembuat kebijakan mengabaikan opini publik, masih perlukah kita menginvestasi sumber daya untuk kampanye publik? Menurut kami masih, bahkan makin perlu.

Pertama, perubahan sosial —termasuk yang bertujuan maksimalis seperti kemerdekaan atau penurunan rezim otokratik— terjadi bukan karena gerakan berhasil meyakinkan penguasa agar berubah pikiran. Perubahan terjadi karena gerakan berhasil mengikis loyalitas pilar-pilar yang menopang penguasa. Erosi ini terjadi karena gerakan lebih dulu berhasil menggalang dukungan yang cukup luas dari berbagai kalangan[1],[2], terutama dari mereka yang tadinya tidak paham, tidak peduli, atau netral. Keberhasilan menggalang dukungan luas inilah yang menyebabkan gerakan sosial nirkekerasan biasanya lebih efektif dari aksi bersenjata, paling tidak sejak abad 20.

Bisakah kita mengkuantifikasi “dukungan yang luas dan beragam”? Penelitian menunjuk pada angka 25% sebagai critical mass[3]. Jika sebuah faksi minoritas yang mendorong perubahan sosial proporsinya kurang dari 25% dari seluruh kelompok, maka mereka akan gagal. Namun begitu faksi yang berkomitmen pada perubahan jumlahnya mencapai 25% dari seluruh kelompok, akan terjadi perubahan yang cukup cepat dalam dinamika kelompok, yang mendorong mayoritas lebih cepat mengadopsi pandangan atau norma baru. Angka 25% tampaknya cukup kecil, namun secara absolut sebetulnya besar untuk Indonesia yang berpenduduk peringkat 4 terbanyak di dunia. Dilakukan dengan optimal, kampanye publik bisa menjangkau dan mempengaruhi jumlah sebanyak ini dengan biaya yang cukup ekonomis.

Untuk perubahan yang tidak bertujuan maksimalis, OMS yang melakukan advokasi kebijakan sebaiknya tidak hanya bertumpu pada taktik “klasik”, seperti dialog kebijakan atau merilis catatan kebijakan. Sebaliknya, penting bagai OMS untuk melengkapi takik “klasik” dengan kampanye publik untuk menggalang dukungan seluas mungkin terhadap agenda perubahan (walau dua jenis kegiatan ini tidak harus diborong semua oleh satu organisasi). Dengan makin meluasnya dukungan, maka posisi pihak-pihak pendukung kebijakan yang disasar pun makin mudah bergeser, dan lebih mungkin mempengaruhi analisis biaya-manfaat politik pembuat kebijakan.

Kedua, lebih dari menjadi komplemen advokasi kebijakan, kampanye publik bisa mendorong proses pengambilan keputusan menjadi lebih partisipatif dan inklusif. Kampanye publik bisa ikut menciptakan lingkungan yang mendukung bagi warga untuk menyuarakan keluhan serta meminta akuntabilitas pemerintah. Kampanye publik bisa membuat warga merasa berkepentingan atas pemecahan suatu masalah, dan semangat untuk terlibat dalam agenda perubahan. Semangat partisipatif inilah yang bagi kami sejalan dengan demokrasi, lebih daripada diskusi antara pembuat kebijakan dengan mereka yang dipandang (atau memandang dirinya) sebagai “ahli” atau “pendamping” warga.

Terakhir, kehadiran dan sepak terjang pendengung (yang diduga bergerak atas instruksi penguasa) sedikit banyak menunjukkan bahwa pembuat kebijakan masih peduli sentimen publik. Mobilisasi pendengung menandakan bachwa pihak yang mengutusnya ingin memenangkan kompetisi dalam pasar gagasan (marketplace of ideas). Akibatnya, ide-ide reformis dan progresif yang diusung OMS harus bersaing dengan pihak yang biasanya punya modal yang lebih besar dan kekuatan yang lebih terkoordinasi. Selain itu, “kompetitor” CSO bisa jadi lebih lihai dalam memanfaatkan keterbatasan “konsumen” pasar gagasan (baca: warga) dalam mengevaluasi informasi karena tingkat literasi yang rendah. Namun kalau kita percaya bahwa pasar gagasan yang bebas, terbuka, dan tidak terdistorsi penting buat demokrasi, seharusnya OMS sebagai produsen dan distributor ide harus meningkatkan kemampuannya untuk bersaing.

Salah satu aspek penting dalam kemampuan bersaing di pasar gagasan adalah kreativitas dalam merangkai pesan, yang akan dibahas di bagian selanjutnya.

Kreativitas penting untuk mencuri perhatian publik

Komunikasi pada hakikatnya adalah tentang stimulus dan respons. Misalnya saya ingin Anda menganggap saya lucu. Cara yang paling tidak efektif adalah saya menyatakan ke Anda, “Saya adalah orang yang lucu”. Ada banyak cara lain yang lebih efektif yang bisa saya tempuh, misalnya menjawab pertanyaan Anda dengan bergurau, atau mengenakan kaos bersablon kalimat lelucon, atau melontarkan teka-teki lucu.

“Dia adalah orang yang lucu” adalah respons, sementara pernyataan diri, memakai kaos bertuliskan lelucon, atau melontarkan gurauan adalah contoh stimulus. Menentukan respons yang diharapkan dari sasaran (baik dalam bentuk pikiran, perasaan, maupun perilaku) adalah urusan strategi. Menemukan stimulus yang tepat untuk memicu respons yang diharapkan dari sasaran komunikasi adalah urusan kreativitas.

Tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat awam tentang isu-isu dalam komunikasi publik seringkali lebih rendah daripada staf OMS yang sehari-hari bergelut di dalamnya. Kami menduga banyak staf OMS percaya bahwa publik masih perlu “diedukasi”, “disadarkan”, atau “dicerahkan” tentang isu yang mereka kawal, yang tercermin dalam materi kampanye publik yang kebanyakan bergaya ceramah (baik lewat tulisan, seminar, podcast, atau film dokumenter). Ceramah adalah salah satu contoh komunikasi “by permission”, yang artinya hanya bisa berlangsung jika penerima pesan sudah lebih dulu memberi ijin (“permission”) kepada penyampai pesan untuk mengambil perhatian dan waktu mereka. Masalahnya, “permission” ini baru akan diberikan jika penerima pesan sudah cukup peduli dan tertarik untuk mendalami isunya. Padahal, alasan utama melakukan kampanye publik adalah karena masyarakat belum peduli tentang isu yang dibahas.

Untuk memutus lingkaran ini, kampanye publik harus bekerja dengan menginterupsi sasaran guna “mencuri” perhatian mereka. Dengan kata lain, komunikasi publik tidak boleh menafikan taktik komunikasi “by interruption”, yakni iklan.
“Your ad begins as an interruption. Make paying attention to it feel like a reward.”
— Lee Clow, “empu” periklanan

Contoh kasus 1: Menggunakan humor untuk membuat pemilih gusar akan aturan ambang batas elektoral

Dimulai dari kuartal terakhir 2021, kami melakukan asistensi teknis kepada dua OMS: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) dan Transparency International Indonesia (TII). Asistensi teknis ini dimungkinkan oleh hibah dari Yayasan Kurawal. Contoh kasus yang pertama adalah tentang kampanye yang kami buat bersama SPD.

Pemilih muda tidak merasa aturan ambang batas pencalonan presiden bermasalah

Salah satu program utama SPD adalah mendesak perubahan ambang batas elektoral untuk calon presiden dan wakil presiden yang sekarang terlalu tinggi, sehingga menekan hak warga negara untuk dipilih dan memilih. Langkah pertama yang kami ambil adalah melakukan jajak pendapat sebagai baseline ke 500 pengguna internet di Indonesia yang berusia 18-34 tahun lewat platform Google Surveys, dengan metode penarikan sampel random device engagement[4] selama November 2021.
(Klik untuk memperbesar gambar)
Dari survei, tercatat 56% responden bisa mengenali dengan benar aturan ambang batas pencalonan presiden. Namun 52% percaya, makin sedikit jumlah kandidat capres-cawapres yang maju dalam pemilu maka makin baik. Setelah terpapar framing yang sengaja kami masukkan di salah satu butir pertanyaan lanjutan, 55% setuju aturan ambang batas elektoral mengurangi kemungkinan pemilih mendapatkan kandidat yang lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada segelintir elit.

Sayangnya, belum semua responden menerjemahkannya ke dalam emosi moral, melihat hanya 30% yang mengaku merasa marah dengan pernyataan “pemilih dibiarkan sulit mendapatkan kandidat yang baik”. Terakhir, hanya 16% responden yang mengaku tidak keberatan dianggap sebagai bagian dari kelompok yang menuntut perubahan aturan ambang batas elektoral.

Menggunakan iklan dan gim daring palsu agar pemilih merasakan aturan yang problematik

Tujuan utama dari kampanye yang berlangsung dari 23 Mei sampai 24 Juli 2022 ini adalah mengubah pendapat publik dari “aturan ambang batas elektoral tidak bermasalah” menjadi “aturan ambang batas perlu diperbaiki”. Kami mulai dari topik yang kami duga cukup menarik buat sasaran kampanye (pengguna internet berusia 18-33 tahun): siapa yang maju jadi calon presiden, dan apakah sosok yang mereka jagokan bisa maju. Kami menggunakan pendekatan humoris berupa sebuah gim daring berjudul Cek Suaramu untuk menakar kans jagoan mereka (yang hasilnya selalu 0%, gara-gara aturan ambang batas yang terlalu ketat). Dari sisi sasaran kampanye, gim ini berlangsung sebagai berikut (Gambar 1):
Gambar 1: Tangkapan layar yang menjelaskan alur gim Cek Suaramu
Untuk “mengundang” sasaran kampanye ke gim ini, kami menggunakan iklan berbayar berupa video singkat yang ditayangkan di Facebook dan Instagram. Iklan yang digunakan adalah video bernuansa teknologi tinggi, senada dengan tampilan situs, dengan durasi 15 detik. Video ini mempunyai tautan yang jika diklik akan membawa audiens ke situs ceksuaramu.com.
Kampanye ini menyediakan 2 opsi untuk berpartisipasi. Opsi pertama yang usahanya relatif kecil adalah menyebarkan gim ini ke akun media sosial lain. Opsi kedua risiko dan usahanya relatif lebih besar, yakni menandatangani petisi daring menuntut revisi UU Pemilu di laman change.org. Perjalanan sasaran dalam berinteraksi dengan kampanye ini diilustrasikan di Gambar 2:
Gambar 2: Perjalanan sasaran dalam berinteraksi dengan materi kampanye Cek Suaramu
Jumlah orang yang terpapar iklan tentu akan lebih besar daripada yang akhirnya main gim dan menandatangani petisi. Cara lain untuk memvisualisasi perjalanan orang dalam kampanye ini (sekaligus sebagai dasar untuk mengukur kinerja kampanye) adalah dengan menggunakan diagram corong seperti dalam Gambar 3.
Gambar 3: Diagram corong untuk memvisualisasikan kinerja kampanye Cek Suaramu
Pendekatan kreatif mampu menyampaikan pesan ke lebih banyak orang yang berada di luar ruang gema

Sejauh mana iklan-iklan ini berhasil menggiring sasaran mengunjungi situs? Dan apakah pengunjung situs mau memainkan gim sampai selesai (sehingga terpapar pesan utama kampanye)? Jawaban pertanyaan yang pertama bisa dilihat dengan menggunakan metriks click-through rate yang dihitung dari jumlah tayangan (impression, sejumlah 5.518.733) dibagi jumlah klik yang dilakukan sasaran kampanye (sejumlah 176.448). Click-through rate kampanye ini adalah 3,2%, lebih dari 3 kali lipat dari tolok ukur rata-rata beberapa industri (yakni 0,90%)[5].

Pesan utama kampanye ini muncul di akhir gim, dan jumlah orang yang selesai memainkan gim dan terpapar pesan utama adalah 28.528 orang, alias 98% dari mereka yang mengunjungi situs. Gambar 4 merangkum angka-angka ini.
Gambar 4: grafik corong yang menampilkan data kinerja kampanye Cek Suaramu
Dilihat dari angka-angka terutama di 2 lapisan atas diagram corong, penggunaan kreativitas dalam kampanye ini tampaknya berhasil menggiring sejumlah pemilih <35 tahun untuk lebih paham dan merasakan problematika aturan ambang batas pencalonan presiden. Namun apakah mereka lantas mau menandatangani petisi? Jika dilihat dari jumlah tanda-tangan yang terkumpul, conversion rate (perbandingan antara yang pengunjung yang akhirnya menandatangani petisi dengan pengunjung yang memainkan gim sampai tamat) adalah 1.4%, lebih rendah daripada rerata tolok ukur lintas industri yang berkisar antara 2.35% – 5.31%[6].

Sementara itu ada 1.773 penandatangan yang datang dari kampanye email yang dikirimkan oleh change.org ke alamat email yang ada di dalam pangkalan data mereka. Sayangnya kami tidak mempunyai data ke berapa alamat email itu dikirim, sehingga tidak bisa menghitung dan membandingkan conversion rate-nya. Namun penerima email yang dikirimkan oleh change.org adalah orang-orang yang sudah pernah menandatangani petisi sejenis sebelumnya. Sementara itu, penanda tangan yang datang dari situs ceksuaramu.com kebanyakan adalah masyarakat umum yang berada di luar aktivisme.

Tanpa kampanye ini, kecil kemungkinan mereka terpapar isu ambang batas elektoral dan mau menandatangani petisi.

Perlu diingat juga bahwa menurut baseline hanya 16% pengguna internet berusia <35 tahun yang tidak keberatan dikenal sebagai bagian dari kelompok yang mendesak perubahan.

Contoh kasus 2: Mengajak pemilih muda “jual mahal” ke partai yang tidak transparan soal sumber dananya

Contoh kasus berikutnya adalah kampanye yang kami kerjakan bersama TII. TII ingin mendesak agar dibuat aturan yang lebih tegas dan punitif agar partai politik melaporkan semua sumber pendanaan mereka, bukan yang didapat dari APBN atau ABPD saja. Jika sumber pendanaan partai dibuat transparan, maka akan lebih mudah untuk menelusuri apakah kebijakan yang dibuat kader yang menduduki jabatan publik benar-benar bebas dari kepentingan.

Pemilih sinis dengan partai

Sama seperti contoh kasus sebelumnya, langkah pertama yang kami lakukan adalah melakukan survei baseline dengan metode yang sama. Besar sampel pun sama, namun ke responden yang berbeda. Survei ini juga berlangsung selama November 2021.

Survei menunjukkan hanya 3% yang bisa dengan tepat mengenali semua sumber dana partai. Sekitar sepertiga percaya sumber dana partai hanya dari pemerintah, dan sepertiga lain mengaku tidak tahu. Responden mungkin tidak punya motivasi untuk menghabiskan waktu dan paket data untuk menelusuri laporan keuangan partai. Ini mungkin bisa dijelaskan oleh hasil survei nasional Indikator di November 2021[7] yang menunjukan partai adalah lembaga yang paling tidak dipercaya oleh pemilih muda. Ketidakpercayaan pada partai sangat mungkin menjadi faktor yang membuat pemilih muda tidak mau tahu tentang apapun yang berkaitan dengannya, termasuk pendanaan.

Ketidakpercayaan pada partai bisa jadi juga membuat responden yakin institusi ini dekat dengan korupsi. Sebanyak 53% responden setuju bahwa tidak terbukanya partai melaporkan sumber dana merupakan salah satu penyebab korupsi. Selanjutnya, 48% meyakini bahwa sebetulnya situasi ini bisa diubah dengan merevisi aturan keuangan partai, walau 49% setuju bahwa aturan ini memang sengaja tidak diubah. Hanya 17% dari responden yang tidak berkeberatan dikenal sebagai bagian dari kelompok yang menuntut perubahan kebijakan ini.

Mengajak pemilih muda “jual mahal” ke partai yang mengincar suara mereka

Dari hasil baseline, kami menyadari kita tidak bisa langsung membahas aturan pelaporan sumber dana partai ke sasaran komunikasi yang sinis pada institusi ini. Kami lalu memilih untuk masuk dari kegeraman universal terhadap korupsi. Pemilih muda tidak mau tahu soal partai, tapi mungkin mereka lebih mau terlibat (atau minimal tidak keberatan dianggap ikut) memerangi korupsi. Kami pun mengamati bahwa banyak partai yang sudah mulai merilis unggahan di media sosial mereka untuk mengambil hati pemilih muda.

Kami mengajak pemilih muda untuk “jual mahal” ke partai yang mengincar suara mereka, dalam kampanye yang berjudul Kamu Bersih Aku Pilih. Kampanye ini berlangsung mulai dari 23 Mei 2022 sampai 26 Juli 2022. Kampanye ini menggunakan beberapa iklan di Instagram dan Facebook, berbentuk video yang muncul di linimasa pengguna dengan tautan yang jika diklik akan membawa mereka ke situs web kamubersihakupilih.id.

Penayangan video iklan dibagi ke dalam tiga fase, dengan setiap fase memiliki muatan pesan yang sedikit beda:
Fase 1

Mengingatkan pemilih muda sebagai sasaran kampanye bahwa mereka pemilik suara yang porsinya paling besar di pemilu berikutnya, sehingga jangan diberikan ke partai yang tidak berani membeberkan sumber dananya
Fase 2

Menyampaikan bahwa belum ada partai yang mengunggah laporan sumber dana secara lengkap
Fase 3

Kembali melaporkan belum ada partai yang mengunggah laporan, dan mengajak sasaran kampanye untuk menekan partai lewat twit dari situs web.
Video-video ini mengantar mereka yang mengklik tautan ke situs yang menampilkan fakta-fakta mengenai peraturan laporan pendanaan partai, daftar partai yang sudah mengunggah laporan pendanaan, serta ajakan bagi para pengunjung untuk menuntut partai mengunggah laporan pendanaan mereka. Perjalanan sasaran kampanye dilustrasikan oleh Gambar 5, sementara Gambar 6 menunjukkan tangkapan layar dari situs kamubersihakupilih.id.
Gambar 5: Perjalanan audiens di dalam mengikuti kampanye Kamu Bersih Aku Pilih
Gambar 6: Tangkapan layar situs kamubersihakupilih.id
Untuk kampanye Kamu Bersih Aku Pilih, kita bisa menggunakan diagram corong seperti dalam Gambar 7:
Gambar 7: Diagram corong untuk memvisualisasikan kinerja kampanye Kamu Bersih, Aku Pilih

Kampanye berhasil menarik perhatian pemilih muda namun tidak membuat mereka ingin tahu lebih banyak atau terlibat


Gambar 8 meringkas kinerja kampanye Kamu Bersih Aku Pilih. Dilihat dari angka click-through rate (3,8%) yang melampaui rata-rata lintas industri sampai lebih dari 3 kali lipat, maka bisa dikatakan bahwa kinerja iklan video untuk mencuri perhatian sasaran kampanye cukup efektif.
Gambar 8: Diagram corong yang menampilkan data kinerja kampanye Kamu Bersih Aku Pilih
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kinerja iklan video di fase pertama paling baik dibandingkan dua versi sesudahnya, dilihat dari impression, reach, dan click-through rate (Tabel 1). Kami menduga ini karena video fase pertama menempatkan para audiens sebagai tokoh utama, sementara video yang lain menampilkan partai.
Tabel 1: Kinerja tiga video iklan
Namun sayangnya setelah masuk ke dalam situs, di tiap langkah jumlah pengguna yang terlibat berkurang secara cukup signifikan, seperti yang diringkas gambar berikut:
Gambar 9: alur pengunjung situs kamubersihakupilih.id dan metriks yang relevan
Ada beberapa titik tempat penurunan signifikan terjadi. Yang pertama adalah saat pengguna membuka situs web. Mayoritas pengunjung hanya singgah sampai di laman muka saja dan langsung keluar. Hanya sedikit dari pengguna yang membuka laman daftar partai dan laman fakta mengenai praktik intransparansi pelaporan dana. Hal ini kami perkirakan karena isi situs ini memberikan penekanan kepada partai politik. Sinisme orang muda secara luas terhadap partai membuat mereka enggan masuk lebih dalam ke situs.

Pada akhir masa kampanye, hanya 20 orang pengunjung yang berniat menantang partai dengan twit (jika dibagi dengan jumlah total pengguna yang masuk situ menghasilkan conversion rate 0.03%), meskipun seperti yang ditunjukkan di Gambar 9, jumlah orang yang mengklik tombol “tantang parpol” adalah 1.004 orang. Ada faktor yang menghambat pengunjung, mulai dari logistik (tidak punya akun Twitter atau lupa kata sandinya), sinisme terhadap partai, dan kecemasan atas UU ITE.

Dari dua contoh kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa kreativitas membuat kampanye publik bisa menginterupsi sasaran kampanye dengan cara yang tidak menyebalkan, dan mampu mengarahkan perhatian mereka ke isu-isu yang sebetulnya cukup kompleks. Namun kreativitas saja tidak cukup untuk mendorong orang yang tadinya awam untuk mau langsung berpartisipasi dalam sebuah aksi kolektif. Selain itu, kreativitas butuh kendaraan untuk menemui sasaran kampanye di luar ruang gema. Kendaraan itu adalah iklan.

Iklan adalah cara cost-effective untuk menembus ruang gema, lebih daripada menggunakan influencer

Di awal, kami membahas pentingnya agenda perubahan mencapai dukungan minimal 25% populasi untuk mencapai critical mass. Artinya, materi kampanye publik harus bisa menjangkau audiens dalam jumlah yang cukup besar. Ini sulit terjadi jika OMS hanya mengandalkan akun media sosial atau situs web mereka, dengan follower atau pengunjung terbatas yang mungkin sebetulnya adalah penghuni ruang gema. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka penggunaan iklan perlu dipertimbangkan.

Jika kita bicara tentang dukungan luas dan beragam, atau jika kita bicara tentang menembus ruang gema, maka metriks yang relevan adalah reach (berapa jumlah orang yang terpapar materi tersebut). Kampanye dari SPD dan TII berhasil mencapai reach yang cukup besar, jika dibandingkan dengan konten-konten organik tiap CSO di media sosial masing-masing sebelum kampanye dimulai. Angka-angka ini bisa dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2: perbandingan reach antara kampanye dan konten organik SPD dan TII sebelum dan selama kampanye
Membayar iklan tentu lebih mahal daripada tidak membayar apa-apa untuk mengunggah konten organik. Namun kita tidak bisa berhenti hanya di angka absolut jumlah biaya. Kita harus memperhitungkan juga seberapa besar jangkauan iklan berbayar dibandingkan konten organik atau kegiatan “standar” komunikasi publik seperti seminar atau webinar.
Cek Suaramu
Biaya iklan Rp50.000.000 selama 40 hari.

28.528
Jumlah orang yang menerima pesan

Rp 1.752
Ongkos menyampaikan pesan per orang
Webinar di SPD
Frekuensi/bulan: 1-2



100 - 300
Jumlah orang yang bisa dijangkau

Rp20.000 - Rp160.000
Ongkos menyampaikan pesan per orang

Bertahun-tahun
Waktu untuk menjangkau orang yang sama
Kamu Bersih,
Aku Pilih
Biaya iklan Rp50.000.000
selama 65 hari.

1.903.238
Jumlah orang yang menerima pesan

Rp 25
Ongkos menyampaikan pesan per orang

Webinar di TII
Frekuensi/bulan: 1



50 - 100
Jumlah orang yang bisa dijangkau

Rp 15.000 - Rp 30.000
Ongkos menyampaikan pesan per orang

47.5 bulan
Waktu untuk menjangkau orang yang sama

Bagaimana dengan taktik yang cukup sering digunakan OMS, yaitu menggunakan influencer media sosial?


Kampanye Cek Suaramu juga menggunakan taktik ini. Kami menggunakan dua influencer untuk platform media sosial yang berbeda:
Di Instagram, influencer yang digunakan adalah Willy Winarko, seorang penyiar radio dan musisi. Dia membuat video yang diunggah tanggal 4 Juli 2022 untuk membuka diskusi mengenai isu ambang batas elektoral presiden. Lalu di dalam diskusi ini, akun Instagram SPD datang mengikuti diskusi dan menyelipkan tautan menuju situs ceksuaramu.com tanggal 8 Juli 2022.
Di Twitter, influencer yang digunakan adalah Agus Mulyadi, seorang penulis. Pada tanggal 14 Juli 2022 dia mengunggah meme mengenai betapa tidak mungkinnya figur fiktif (Gatot Kaca) menjadi presiden Indonesia karena aturan ambang batas elektoral. Ia lalu melanjutkan meme tersebut dengan utas yang membicarakan isu ambang batas pencalonan presiden dan mengarahkan audiens menuju situs ceksuaramu.com.
Tabel 3 membandingkan metriks penting kampanye antara iklan dengan pemberi pengaruh dalam hal menjangkau sasaran kampanye. Sangat jelas perbedaan kinerja iklan berbayar dengan influencer, tidak hanya dari luasnya jangkauan, ongkos per klik dan per pengunjung situs, tapi juga akuntabilitas kinerja konten mereka. Ada beberapa data yang tidak bisa kita dapatkan dari pendengung yang bisa kita dapatkan dari iklan berbayar.
Tabel 3: Perbandingan kinerja antara iklan dengan infuencer
Angka-angka dalam Tabel 4 juga belum memperhitungkan tenaga dan waktu yang dibutuhkan untuk mengarahkan influencer, dan risiko jika influencer yang sudah pernah digunakan dalam kampanye publik OMS di beberapa saat kemudian melakukan sesuatu yang bertentangan atau tidak membantu agenda perubahan.

Iklan kreatif bisa menyiasati menyempitnya ruang ekspresi publik

Jangan mendivestasi kampanye publik


Sebelumnya kami sudah membahas, tujuan utama kampanye publik bukan meyakinkan pembuat kebijakan agar berubah pikiran, namun untuk mengumpulkan dukungan seluas mungkin, sehingga menggoyahkan dan mengikis loyalitas pilar penyokong mereka. Mengingat pentingnya critical mass yang mendukung agenda perubahan, kampanye publik dengan pendekatan kreatif dalam bentuk iklan mempunyai peran penting untuk menjangkau segmen publik yang masih awam dan belum peduli tentang isu yang dikampanyekan. Melalui dua contoh kasus di atas kami harap pembaca teryakinkan tentang potensi kampanye publik yang menggunakan iklan kreatif.

Kita mengamati gejala tergerusnya ruang ekspresi publik dalam beberapa tahun belakangan. Penggerusan ini menambah risiko keamanan yang ditanggung staf OMS yang menyelenggarakan kampanye publik. Sebetulnya dengan menggunakan kreativitas dalam membuat materi kampanye, OMS bisa jadi punya perisai untuk “berlindung” atau ruang untuk “berkelit” dari tuduhan pencemaran nama baik, misalnya dengan menggunakan humor dan perumpamaan, menyuntik ambiguitas, atau jurus lainnya, seperti yang dilakukan Otpor dalam gerakan melawan Slobodan Milosevic di Serbia di akhir dekade 1990an.

Karena itu kami percaya bahwa divestasi sumber daya untuk kampanye publik bukanlah keputusan yang tepat. Justru sebaliknya, perlu investasi lebih besar agar OMS meningkat kapasitasnya dalam melakukan penelitian pemirsa, menyusun strategi, bekerja sama untuk membuat materi yang kreatif, membuat anggaran dan rencana pemasangan iklan, dan memonitor kinerja kampanye. Selanjutnya, OMS yang ingin menyelenggarakan kampanye publik perlu menyusun anggaran yang realistis untuk mencakup riset, pembuatan materi kreatif, dan belanja iklan. Lembaga donor pun perlu mendorong OMS untuk meningkatkan kapasitas menyelenggarakan kampanye publik dan mendiversifikasikan taktik komunikasi dalam advokasi kebijakan.

Kaitan antara kampanye publik dengan jajak pendapat perlu diperkuat


Kami percaya bahwa sebetulnya penguasa, terutama pejabat yang dipilih, masih peduli dengan opini publik karena mereka punya insentif untuk memantaunya. Salah satu cara yang mereka gunakan untuk memantau adalah lewat jajak pendapat (polling), baik yang mereka bayar sendiri maupun yang hasilnya disebarkan terbuka. Kami melihat peluang untuk secara proaktif menggunakan alat yang sama untuk mengukur dan mengamplifikasi pendapat publik dalam aneka isu yang dikawal OMS.

Melakukan jajak pendapat cukup mahal, namun beberapa lembaga donor bisa berpatungan untuk menugaskan lembaga penelitian terpercaya yang simpati pada agenda masyarakat sipil melakukan survei berkala secara omnibus. Data yang diperoleh bisa dibagikan ke banyak OMS untuk pemantauan dan evaluasi, disebarluaskan lewat media, atau “dibisikkan” ke pemangku kepentingan yang punya peran strategis dalam mendorong perubahan.

Kampanye publik harus berbarengan dengan kegiatan OMS menyediakan berbagai pilihan civic engagement


Kami sadar kampanye publik bukanlah sebuah peluru perak atau panacea. Kampanye publik dengan iklan kreatif bisa menjangkau banyak orang dan mengajak mereka untuk mulai memahami sebuah isu dan merasakan emosi moral tentangnya. Singkatnya, kampanye publik bisa menggalang dukungan yang luas tapi dangkal.

Karena itu tidak realistis mengharapkan mereka yang dijangkau kampanye publik serta merta bersedia mengikuti aksi kolektif, apalagi yang menuntut banyak waktu dan tenaga atau riskan. Ini konsisten dengan temuan kami dalam sebuah riset tentang pemahaman orang Indonesia tentang perubahan iklim dan kecenderungan melakukan aksi kolektif menjaga lingkungan (2021). Aksi kolektif yang mereka minati adalah yang tidak sulit atau riskan (Gambar 10).

Gambar 10: persentase responden yang menjawab pernah dan berminat untuk mengikuti beberapa pilihan aksi kolektif untuk melindungi lingkungan hidup

Kampanye publik sebaiknya dilihat sebagai alat untuk mengidentifikasi mereka yang mulai peduli sebuah isu dan tertarik untuk ikut mendorong perubahan, sehingga OMS yang menyelenggarakan kampanye publik bisa mengontak mereka kembali. Secara bertahap OMS bisa mengadakan pertemuan-pertemuan singkat dengan mereka, yang tujuannya tidak hanya “pendalaman materi” tapi juga memperkuat keterikatan antara organisasi dengan mereka, serta kekompakan sesama mereka. Pertemuan yang rutin inilah yang membantu warga membangun kapasitas organisasi untuk perencanaan, negosiasi, menyepakati tujuan, melanjutkan kemenangan yang pernah dicapai[8],[9]. Selain itu, ikatan yang kuat (“strong ties”) lebih mendorong orang-orang mengikuti aksi kolektif, terutama yang riskan atau menuntut pengorbanan[10],[11].

Artinya, saat menyelenggarakan kampanye, OMS harus menawarkan publik untuk ikut melakukan sebuah aksi yang mudah dikerjakan, tidak riskan, dan memungkinkan organisasi untuk menjaga kontak dengan mereka. Dari situ, OMS mulai mengeksekusi strategi “pendalaman” dan memupuk keterikatan, dan secara bertahap mengajak mereka mengikuti kegiatan civic engagement atau aksi kolektif yang makin lama makin membutuhkan komitmen yang besar. Kombinasi keduanya, jika dikerjakan dengan optimal, seharusnya menjadi amunisi yang potensial untuk mendorong perubahan sosial
Sudah siapkah kita?
1 Stephan, M. and Chenoweth, E. (2008). Why civil resistance works: the strategic logic of nonviolent conflct. International Security, Volume 33, Issue 1

2 Vedantam, S, (host) (2015–sekarang). Hidden Brain [Audio podcast}. Hidden Brain Media. https://hiddenbrain.org

3Centola, D., Becker, J., Brackbill, D., & Baronchelli, A. (2018). Experimental evidence for tipping points in social convention. Science, 360(6393), 1116–1119. https://doi.org/10.1126/science.aas8827

4Random device engagement adalah metode penarikan sampel non-probabilitas yang mengajak pengguna internet untuk mengisi kuesioner saat menggunakan gawai yang mereka biasa pakai. Untuk Google Surveys, responden direkrut di situs-situs yang tergabung dalam jaringan iklan atau peneribit yang berafiliasi dengan Google. Google Surveys tidak akan menyebarkan kuesioner bertopik politik ke responden berusia di bawah 18 tahun. Google Surveys melakukan pembobotan data dari sampel ke populasi pengguna internet di Indonesia.
5Social Advertising Benchmarks for 2022 - brafton.com

6What Is a Good Conversion Rate? It’s Higher Than You Think! (2022, June 22). WordStream. https://www.wordstream.com/blog/ws/2014/03/17/what-is-a-good-conversion-rate

7Indikator. Survei Nasional Kinerja Presiden, Penanganan Covid-19, Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi dan Peta Elektoral Terkini: Temuan Survei Nasional 2-6 November 2021.

8Chenoweth, E. (2020). The Future of Nonviolent Resistance. Journal of Democracy, 31(3), 69-84.

9Tufekci, Z. (2022, July 21). I Was Wrong About Why Protests Work. The New York Times. https://www.nytimes.com/2022/07/21/opinion/zeynep-tufekci-protests.html
10Centola D. (2021). Change: how to make big things happen Little Brown Spark.
11Gladwell, M. (2010, September 27). Small Change. The New Yorker https://www.newyorker.com/magazine/2010/10/04/small-change-malcolm-gladwell

Communication for Change (C4C) is a consulting firm that combines rigor and creativity in social change communication. We are in a mission to help reformists get buy-in and make changes.

Since our start in 2016 we have been helping CSOs and nonprofits in communication capactity building, and planning, executing, and evaluating their communication activities. We use the art and the technique we learrned from our previous career in the advertising and marketing world.

If you want to explore how your organizations can use communication more effectively to bring about changes, contact us through WhatsApp or email.